Oleh: Tjahja Gunawan
(Penulis Wartawan Senior)
Rencana pertemuan Anies Baswedan dengan Prabowo Subianto, Presiden terpilih 2024-2029 seperti diberitakan Kantor Berita Antara, dipastikan akan membicarakan urusan politik. Loh kok, bukankah Pilpres 2024 yang penuh kecurangan sudah berakhir ? Begitu pertanyaan dan pemikiran sebagian kalangan awam. Bahkan sebagian lagi yang berpendapat ekstrim menyebutkan: “Haram bertemu dengan pemimpin hasil pemilu curang !”.
Sementara kalangan moderat umumnya berpendapat: “Sudahlah, pemilu sudah berakhir dan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menetapkan Presiden terpilih. Mari kita move on !”. Pendapat seperti ini akan dengan mudah dibalas lagi oleh yang berpandangan ekstrim: “Justru MK lah yang menjadi biangkerok segala bentuk kecurangan pemilu 2024. Menyikapi dua pendapat yang berseberangan pasca Pemilu 2024 ini niscaya tidak akan berakhir bahkan bisa terus.menerus berdebat tiada akhir.
Suka tidak suka, Anies Baswedan lebih cenderung menampilkan diri sebagai sosok moderat ketimbang seorang tokoh oposisi ekstrim. Oleh karena itu dia akan menempuh jalan tengah dalam setiap proses politik praktis. Walaupun Anies Baswaden nanti akan bertemu dengan Prabowo, nampaknya yang dibicarakan bukan soal tawaran jabatan jadi menteri atau posisi lain di pemerintahan Prabowo. Tapi, keduanya kemungkinan akan membicarakan soal Pilkada Jakarta.
Sesuai “kaidah yang berlaku di dunia politik praktis”, jika Anies Baswedan ingin maju lagi sebagai Capres tahun 2029, dia harus berada di “pusaran politik”, memegang jabatan publik. Walaupun dia bukan kader parpol, tapi jika ingin memegang jabatan publik sebagai Gubernur Jakarta maka untuk saat ini Anies Baswedan harus bisa menggunakan kendaraan politik yakni parpol.
Yang membuat penasaran publik dengan rencana pertemuan dengan Prabowo, apakah Anies Baswedan akan dicalonkan lagi oleh Partai Gerindra seperti pada Pilkada DKI 2017 ? Bukankah dia akan dicalonkan PKS dan PDIP ? Menjelang Pilkada serentak November 2024, Pilkada Jakarta lah yang menyedot perhatian publik. Sebab, kalau PKS dan PDIP jadi mencalonkan mantan Capres 2024 Anies Baswedan, maka atmosfir Pilkada Jakarta akan terasa seperti Pilpres 2024.
Menjelang Pilkada Jakarta, para elite parpol telah melakukan berbagai manuver politik. “Test the water”, untuk mengetes reaksi publik . Sebagian lagi, ada juga politisi yang sengaja membuat pernyataan tentang nama calon gubernur Jakarta tertentu di media massa dengan tujuan untuk “menebar jala”. Sengaja opininya disebar ke media agar bisa menarik fulus dan logistik dari oligarki.
Dalam iklim demokrasi ala Indonesia, parpol sudah terlanjur menjadi kendaraan politik bagi para calon pemimpin baik di pusat maupun daerah. Implikasi pragmatisnya, banyak elite yang berperan sebagai broker politik. Realitas politik inilah yang kemudian menyuburkan praktek korupsi politik di berbagai level birokrasi dan lembaga negara.
Praktek dagang sapi
Kembali pada praktek “dagang sapi” dalam Pilkada Jakarta. Adalah Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan yang kencang mewacanakan Ridwan Kamil (kader Partai Golkar) sebagai Calon Gubernur Jakarta. Padahal, diatas kertas RK sebenarnya berpeluang menang besar jika maju sebagai Cagub Jabar untuk periode kedua. Namun karena Partai Gerindra hendak mencalonkan mantan Bupati Purwakarta Dedy Mulyadi sebagai Cagub Jabar, sehingga RK didorong untuk maju sebagai Cagub Jakarta.
Rupanya, Zulhas punya agenda politik untuk menjadikan kader PAN Bima Arya (Wali Kota Bogor) sebagai cawagub Jabar berpasangan dengan cagub Dedy Mulyadi. Bahkan Zulhas mengklaim parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah sepakat mencalokan RK sebagai Cagub Jakarta.
Klaim sepihak tersebut segera dibantah oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto, sebagaimana diberitakan portal CNN Indonesia. Kata Airlangga, sampai sekarang Partai Golkar masih membahas cagub Jakarta. Menjelang Pilkada Jakarta, semua parpol berusaha untuk memajukan kadernya masing-masing.
PDIP dan PKS pun menyodorkan nama-nama cawagub untuk mendampingi Anies Baswedan. Mantan Panglima TNI yang sekarang menjadi elite PDIP, Jend (Purn) TNI Andika Perkasa dan mantan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi adalah nama yang diwacanakan untuk manjadi cawagub mendampingi Anies Baswedan. Sementara Ketua DPP PKS Hidayat Nurwahid menyodorkan nama Mardani Ali Sera untuk dipasangkan dengan Anies.
Di tengah tarik menarik kepentingan parpol dalam proses Pilkada Jakarta 2024, kemudian muncul rencana pertemuan Anies Baswedan dengan Prabowo. Peristiwa ini pasti akan menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan masyarakat terutama elite parpol. Logikanya, kalau Anies Baswedan hendak dicalonkan PDIP dan PKS, mengapa beliau tidak bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atau Presiden PKS Ahmad Syaikhu?. Tapi Anies Baswedan justru akan bertemu dengan Presiden terpilih yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Publik pun mengetahui bagaimana sengitnya persaingan diantara keduanya dalam Pilpres 2024 lalu.
Saking sengitnya dalam kompetisi Pilpres lalu, sebagian kalangan ada yang berpendapat: “Anies Baswedan tidak mungkin lagi bisa bekerjasama atau berkoalisi dengan Prabowo atau Partai Gerindra”. Pendapat “hitam putih” seperti itu ada di masyarakat dan kita hormati. Tapi harus diingat bahwa dunia politik praktis itu bersifat dinamis, sehingga ada ungkapan umum yang menyatakan: “Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang langgeng cuma kepentingan”.
Lalu apa kepentingan Anies Baswedan maju dalam Pilkada Jakarta 2024 ? Apakah untuk membangun dinasti politik seperti yang dilakukan Jokowi ? Atau memang ingin membahagiakan warga Jakarta ? Sehingga tidak ada lagi rakyat kecil seperti warga Kampung Bayam yang menjadi korban kesewenang-wenangan pejabat Gubernur DKI yang sekarang. Bisa juga Anies ingin memulihkan keputusan pencabutan aturan pajak untuk rumah dengan harga dibawah Rp 2 milyar yang dilakukan Pejabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono. Sementara bagi kalangan non Islam di Jakarta, mereka justru lebih nyaman ketika Jakarta dipimpin Anies Baswedan.
Bahkan Pendeta Sephard Supit, selaku Pembina Majelis Pusat Himpunan Warga Gereja Indonesia (MP Hagai), sengaja mendatangi Kantor DPP PKS di Jl. TB Simatupang Jakarta. Supit berpendapat bahwa Anies Baswedan masih layak untuk memimpin Jakarta. “Berbagai persoalan yang masih ada di Jakarta hanya Anies yang dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut,” kata Sephard Supit.
Dengan adanya rencana pertemuan Anies Baswedan dengan Prabowo, akhirnya bisa kita ketahui bahwa yang ketakutan dengan kehadiran Anies dalam Pilkada Jakarta ternyata bukan Prabowo Subianto. Tapi sejumlah elite politik dan pengusaha yang khawatir kepentingan politik dan bisnisnya bakal terganggu. Mereka akan melakukan berbagai manuver dan cara untuk menggagalkan Anies Baswedan sebagai Calon Gubernur DKI sama seperti yang pernah dilakukan dalam Pilpres 2024.
Jika pertemuan Anies Baswedan dan Prabowo terlaksana, soliditas parpol yang tergabung dalam KIM terancam retak. Apalagi kalau misalnya Partai Gerindra malah justru nanti mencalonkan Anies Baswedan sebagai Cagub Jakarta. Dugaan ini sanga kuat karena sebelumnya petinggi Partai Gerindra berinisial SD telah menawarkan posisi Cawagub kepada Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Selama ini PKS selalu diidentikan dengan sosok Anies Baswedan. Sejak Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2024, PKS setia menjadi pendukung Anies. Sebaliknya, dalam Pilpres 2024 PKS dan Gerindra justru berseberangan. Namun dalam perhelatan Pilkada Jakarta tahun ini, kedua parpol ini bisa saja berkoalisi. Lalu Partai Gerindra mendapat manfaat apa dari Pilkada Jakarta kalau misalnya mendukung Anies Baswedan dan menawarkan posisi Cawagub Jakarta kepada PKS ?. Sangat boleh jadi Partai Gerindra yang meraih 14 kursi, cukup mendapat posisi sebagai Ketua DPRD Jakarta.
Tujuan utama Prabowo ingin merangkul Anies dan PKS dalam kepentingan politik Partai Gerindra. Sebab kalau Presiden terpilih menawarkan jabatan posisi menteri, dipastikan akan menimbulkan penolakan keras dari pendukung, relawan dan simpatisan Anies Baswedan dan PKS.
Jika perkembangan politiknya seperti itu, maka tertutup peluang bagi PDIP untuk mengusung Anies Baswedan sebagai Cagub Jakarta karena keduluan oleh Partai Gerindra. Dengan begitu, sangat boleh jadi PDIP akan mengusung sendiri Cagub dan cawagub Jakarta periode 2024-2029.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara KPU RI, pada Pemilu 2024, PDIP maupun PKS meraih suara terbanyak. PKS unggul di Jakarta dengan perolehan 1.012.028 suara (18 kursi). Kemudian disusul PDIP yang memperoleh 850.174 suara (15 kursi). Jika dalam Pilkada Jakarta nanti PDIP maju sendiri tanpa koalisi dengan parpol lain kemungkinan akan mengusung Jend (Purn) Andika Perkasa sebagai Cagub dan Prasetyo Edi sebagai Cawagub Jakarta. Kita lihat aja perkembangannya nanti pada saat pendaftaran pencalonan kepala daerah ke KPUD bulan Agustus 2024. *
Leave a Reply